Jumat, 04 Januari 2013

pangan instan: TIwul dan gatot instan


PANGAN INSTAN

A.       PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu dan  teknologi berkembang dengan pesat diberbagai bidang, termasuk dalam bidang  pangan, kemajuan teknologi ini membawa dampak positif maupun negatif. Dampak positif teknologi tersebut mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas pangan, juga meningkatkan diversivikasi, hygiene, sanitasi, praktis dan lebih ekonomis.  Dampak negatif kemajuan teknologi tersebut ternyata cukup besar bagi kesehatan konsumen dengan adanya penggunaan zat aditif yang berbahaya.
Pola kehidupan masa kini dicirikan dengan tingginya biaya hidup, emansipasi atau karena alasan lain menyebabkan wanita bekerja diluar rumah. Data statistik tahun 2002 menunjukkan bahwa wanita yang bekerja pada angkatan kerja berjumlah 33,06 juta atau 44,23% dari jumlah total usia wanita antara 15-60 tahun (BPS, 2002).  Wanita sebagai ibu rumah tangga dan sebagian lain berprofesi bekerja di luar rumah, karena keterbatasan waktu dan kesibukan, serta sulitnya mencari pramuwisma menyebabkan makanan siap saji menjadi  menu utama sehari-hari di rumah.
Ritme kehidupan yang menuntut segala sesuatu serba cepat, waktu terbatas, anak harus pergi sekolah sementara ibu dan bapak harus segera berangkat kerja, sebagai jalan pintas untuk sarapan disediakanlah makanan siap saji yang memakan waktu penyiapan 3 sampai 5 menit.  Siang hari pulang sekolah ibu dan bapak masih bekerja dikantor, anak-anak kembali menikmati makanan siap saji ini.  Selain mudah disajikan makanan  ini umumnya mempunyai cita rasa yang gurih dan umumnya disukai, terutama oleh anak-anak usia sekolah.
Masalah lain yang jadi fenomena dimasyarakat adalah tersedianya berbagai jajanan yang dikemas dapat dipastikan “kaya”  zat aditif. Tercatat 13 jenis snack mengandung bahan aditif dalam kandungan yang cukup tinggi (Republika, 2003).
Menurut Majeed (1996) zat aditif dapat dibagi menjadi  beberapa kelompok berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu: 1) agen emulsi yaitu aditif yang berbahan lemak dan air contohnya lecitin 2) agen penstabil dan pemekat contohnya alginat dan gliserin, 3) agen penghalang kerak untuk mencegah penggumpalan, 4) agen peningkatan nutrisi contohnya berbagai vitamin, 5) agen pengawet contohnya garam nitrat dan nitrit, 6) agen antioksidan contohnya vitamin C dan E ; BHT (Butylated Hydroxy-Toluen) dan BHA (Butylated Hydroxy-Anisol), 7)  agen pengembang untuk roti dan bolu, 8) agen penyedap rasa contoh monosodium glutamat (MSG), 9) bahan pewarna.   Selain kesembilan zat aditif diatas Denfer (2001) juga menyatakan terdapat bahan lain yang ditambahkan dalam makanan diantaranya: 1) agen peluntur, 2) lemak hewani, 3) bahan pengasam, 4) bahan pemisah, 5) pati termodifikasi, 6) alkohol, dan 7) gelatin .
Dewasa ini, makanan tradisional seperti tiwul dan gatot sudah mulai ditinggalkan, karena dianggap tiwul bukan makanan yang layak dikonsumsi, kedua, tiwul makanan orang miskin, ketiga, tiwul makanan yang dikonsumsi karena terpaksa akibat persediaan beras habis.
Pandangan seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan menghambat diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat akan malu kalau tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan banyak lagi sumber karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat masyarakat kita saat ini memang masih didominasi oleh beras. Indonesia merupakan salah satu negara pemakan beras tertinggi di dunia.
Tidak mengherankan bahwa hampir 60 persen konsumsi karbohidrat kita, didominasi oleh padi-padian. Padahal menurut ahli gizi, harusnya seimbang antara padi- padian dan umbi-umbian dan lainnya. Hal inilah yang harus dikoreksi agar tercipta sumberdaya manusia yang sehat. Masalah pangan bukan hanya soal ketersediaan, seperti pemikiran tahun 1960an. Walaupun ketersediaan cukup, apabila sulit didistribusikan dengan harga terjangkau, maka pangan tidak akan merata diakses oleh keluarga. Maka aspek distribusi juga sangat menentukan ketahanan pangan dan asupan gizi bagi anggota keluarga. NTB misalnya selalu mengalami surplus beras setiap tahunnya, namun rawan pangan juga terjadi.
Faktor lain yang sangat penting adalah daya beli masyarakat untuk memenuhi konsumsi yang memenuhi syarat gizi seperti energi dan protein. Dari data yang ada sebenarnya ketersediaan energi dan protein domestik telah melebihi kebutuhan. Namun, sebahagian masyarakat kita masih kekurangan kalori dan protein, karena daya beli yang rendah, dan kurang memahami keberagaman sumber pangan yang ada.
Kekeliruan mendasar dalam ketahanan pangan kita adalah persepsi masyarakat bahwa pangan itu identik dengan beras. Padahal sebenarnya sejak dahulu telah tumbuh budaya lokal (local wisdom) mengkonsumsi non-beras dalam pola makannya yang terbentuk dari keyakinan, tata-nilai, dan perilaku masyarakat.
Untuk Papua dan Irian Jaya Barat misalnya, mereka makan umbi-umbian dan sagu. Ubi jalar ternyata punya kelebihan dibanding beras. Ubi jalar lebih unggul vitamin A, karotenoid, vitamin C serta serat dibandingkan dengan beras. Tidak mengherankan mengapa orang Jepang gandrung mengkonsumsi ubi jalar yang merupakan salah satu komponen tempura.
Di berbagai daerah di Indonesia makanan pokok masyarakat adalah tiwul. Contohnya di Jawa timur, yaitu Kabupaten Nganjuk, Kediri, Trenggalek, Tulungagung, Pacitan, Lumajang, Malang Selatan, dan Kabupaten Gunung Kidul DIY.
Di beberapa daerah tersebut tanpa tiwul dalam satu hari serasa belum kenyang-merasa tenaganya kurang. Artinya mengkonsumsi tiwul bukan berarti keadaan masyarakat itu miskin, rawan pangan, kelaparan, tetapi merupakan budaya/perilaku pola makan masyarakat setempat. Kalau kita mengunjungi kampung Cirendeuy di Cimahi Jawa Barat yang seluruh masyarakatnya penganut ajaran Penghayat, mereka sangat menjunjung ajaran nenek moyangnya dalam mempertahankan pola konsumsi non-beras yaitu limbah aci atau ampas singkong yang mereka sebut nasi.
Harus diakui bahwa bahan pangan dari umbi-umbian (ubi kayu, ubi jalar, garut, talas, gadung, ganyong, gembili dan suweg) dalam bentuk segar memiliki kandungan kalori dan protein yang rendah. Karakteristik rendah kalori ubi segar dapat dihilangkan dengan memprosesnya menjadi bahan kering berupa irisan atau tepung dengan kadar air setara beras aman simpan.
Kandungan protein tepung ubi dapat ditingkatkan dengan menambahkan tepung kacang-kacangan sehingga menjadi tepung komposit. Tiwul merupakan salah satu bentuk olahan pangan dengan bahan baku ketela pohon yang dikeringkan, kemudian ditepung.
Penganekaragaman pangan antara lain melalui pengembangan tiwul instan merupakan alternatif yang paling rasional untuk memecahkan permasalahan kebutuhan pangan (khususnya karbohidrat). Penataan pola makan yang tidak tergantung pada satu sumber pangan (beras), memungkinkan tumbuhnya ketahanan pangan keluarga yang pada akhirnya dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional.




















B.     PERKEMBANGAN MUTAKHIR
Seiring berkembangnya makanan instan di dunia khususnya di Indonesia makanan tradisional pun sudah dirombak menjadi makanan instan. Beberapa makanan tradisional yang telah dikembangkan menjadi makanan instan diantaranya  bubur jagung instan, gatot instan, dan tiwul instan.
1.      Tiwul Instan
`           Nasi tiwul adalah makanan tradisional yang terbuat dari singkong/ketela pohon, yang umumnya masih diolah secara tradisional oleh para penduduk. Tapi sekarang ini sudah ada tiwul yang berbentuk kemasan, namanya tiwul instan,
Umbi singkong (ketela pohon/cassava) sudah sejak lama dikenal masyarakat Indonesia sebagai salah satu bahan makanan yang cukup penting sebagai sumber asupan karbohidrat.
Selama ini masyarakat di pedesaan biasanya mengkonsumsi singkong dengan cara dimasak langsung (direbus, dikukus dan digoreng) atau dikeringkan terlebih dahulu di bawah terik matahari untuk dijadikan gaplek. Sebelum dimasak, gaplek biasanya ditumbuk terlebih dahulu menjadi tepung gaplek untuk selanjutnya dimasak dengan cara dikukus menjadi makanan yang dikenal dengan sebutan tiwul.
Sebagian masyarakat di pedesaan ada juga yang memanfaatkan umbi singkong sebagai bahan dasar pembuatan tape (di wilayah Jawa Barat dikenal dengan istilah peuyeum sampeu) melalui proses fermentasi dengan menggunakan ragi tape. Produk makanan berbahan baku umbi singkong khususnya goreng singkong dan tape sebetulnya sudah cukup memasyarakat sebagai makanan ringan yang banyak dijajakan oleh para pedagang makanan gorengan.
Berbeda dengan gorengan umbi singkong yang relatif banyak dikenal anggota masyarakat, makanan tiwul sampai saat ini masih belum begitu populer di masyarakat, terutama di perkotaan mengingat proses pembuatannya yang relatif cukup memakan waktu. Namun dari sisi pembentukan cadangan pangan, cara pembuatan tiwul yang melalui tahapan pembuatan gaplek sebetulnya memiliki kelebihan dibandingkan dengan konsumsi umbi singkong secara langsung. Sebab, gaplek bisa tahan disimpan lebih lama ketimbang disimpan dalam bentuk umbi singkong biasa.
Gaplek singkong yang diolah secara tradisional menjadi tiwul selama ini belum begitu dikenal sebagai sumber bahan makanan pokok masyarakat. Selain karena proses pembuatannya yang cukup memakan waktu, tiwul tradisional juga memiliki kandungan gizi yang relatif rendah jika dibandingkan dengan jenis makanan lainnya
Namun demikian dari sisi ketahanan pangan, pemberdayaan tiwul sebagai alternatif sumber makanan tetap perlu diperhitungkan. Lebih-lebih apabila sentuhan teknologi dapat mengatasi kendala ketidakpraktisan dan lamanya waktu proses penyiapan makanan tiwul. Sentuhan teknologi kembali diharapkan dapat mengatasi persoalan rendahnya kandungan gizi dalam bahan makanan tiwul melalui proses fortifi kasi (pengayaan kandungan nutrisi dengan berbagai zat gizi yang dibutuhkan tubuh manusia).
Pemberdayaan tiwul sebagai salah satu alternatif sumber makanan bagi masyarakat diyakini dapat memperkuat ketahanan pangan nasional. Sebab, pemberdayaan tiwul sebagai sumber alternatif makanan masyarakat dapat mensukseskan program diversifi kasi pangan di dalam negeri. Dengan demikian, pemberdayaan tiwul dapat turut mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap sejumlah bahan pangan utama seperti beras, terigu, jagung, kedelai dll.
Penelitian terkini tentang tiwul instan :
a.       Studi pembuatan kudapan tiwul instan dari tepung ubi kayu (Manihot utilissima) varietas kaspro dengan penambahan berbagai jenis tepung kacang-kacangan.
b.      Nutrifikasi tiwul instan dengan tepung telur (kajian dari kadar protein dan sifat organoleptik)
c.       Potensi, kendala dan peluang pengembangan agroindustri berbasis pangan lokal ubi kayu
Dalam perkembangannya, tiwul dapat menjadi pangan alternatif atau makanan fungsional yang dapat memembus kalangan menengah perkotaan layaknya roti atau mie. Hal ini dapat terwujud dengan lahirnya produk tiwul instan yang dikemas dengan kemasan plastik yang menarik. Selain memperpanjang masa simpannya, diharapkan dengan ditawarkannya produk siap saji dalam bentuk tiwul instan akan dapat meningkatkan antusiasme masyarakat untuk mengkonsumsinya, sehingga tujuan dari penganekaragaman pangan yang mendukung terciptanya ketahanan pangan dapat terwujud.
Cara pembuatan tiwul instan:
Bahan :
•Ubi kayu kuning
•Tepung tempe
Alat-alat :
•Seperangkat alat dapur
•Kompor
•Penggiling
Proses Pembuatan:
1)      Persiapan bahan meliputi, pengupasan, pemotongan dan pencucian, kemudian dilakukan penjemuran dibawah sinar matahari atau menggunakan alat pengering hingga kering (ka. 12%).
2)      Setelah ubi kayu kering dilakukan penggilingan hingga menjadi tepung.
3)      Tepung gaplek dicampur secara merata dengan tepung tempe (15%).
4)      Pengukusan dilakukan untuk mematangkan adonan dan dilakukan selama 20-25 menit dengan suhu 85-90°C sehingga dihasilkan tiwul.
5)      Tiwul yang telah dikukus dikeringkan kembali dalam oven atau sinar matahari sehingga cukup kering (diperoleh tiwul instan), sebelum dikemas tiwul harus didinginkan terlebih dahulu pada suhu ruang.


2.      Gatot Instan
Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, orang mengenal gatot sebagai makanan orang susah. Jika beras mahal atau sawah mengalami kekeringan, orang desa masih sering mengonsumsi makanan olahan singkong ini. Kita masih bisa menjumpai makanan ini di sejumlah daerah, seperti Kabupaten Wonogiri di JawaTengah, Gunung Kidul, Yogyakarta, dan Blitar di Jawa Timur. Bahkan pada saat penjajahan Jepang, gatot pernah menjadi makanan pokok orang-orang desa karena sulitnya mendapatkan beras pada saat itu.
Dari tampilannya, gatot memang membuat beberapa orang tidak berselera untuk memakannya karena warnanya yang hitam dan lengket. Gatot sendiri sebenarnya berasal dari gaplek (singkong -Manihotesculenta/Manihot utillisima- yang telah dikupas dan dikeringkan), namun dipilih yang kehitaman. Belum jelas juga mengapa warnanya bisa kehitaman. Beberapa sumber mengatakan, warna tersebutdiperoleh dari semacam jamur (kapang) yang tumbuh akibat proses penjemurannya yang sangat lama(sekitar 1 minggu) dan disertai proses menghujan-hujankan atau dapat pula diperoleh dari prosespemeraman dalam wadah tertutup hingga berjamur. Keberadaan jamur pada singkong, menyebabkanterjadinya proses fermentasi yang membuat pati dalam singkong rusak dan (mungkin) lebih mudahdicerna. (darikompas, dengan perubahan)
Walaupun makanan ini terlihat ‘ekstrim’, namun sampai saat ini jarang ada laporan terjadinyakeracunan. Satu-satunya laporan keracunan yang didapat, keracunan tersebut disebabkan karena padasaat penjemuran gaplek yang akan dijadikan gatot mengalami kontaminasi limbah karena dijemur ditepi sungai. Malah, menurut dosen IBM (ilmu bahan makanan) di kampus (aku lupa siapa.. oh,dosen,, maafkan muridmu.. :D) singkong yang telah dikeringkan (dengan proses yang bersih) lebihaman dikonsumsi dari singkong biasa, karena pada saat pengeringan, racun alami pada singkong ;linamarin dan lotaustralin (jenis racun sianida) akan ikut menguap.Proses pembuatannya :Membuat gatot diawali dengan proses merendam gaplek yang kehitaman dalam waktu semalaman.Setelah itu, air rendamannya dibuang dan gaplek hitamnya kemudian dicuci bersih dan dikecil-kecilkan. Karena sudah mengalami perendaman, gaplek jadi mudah untuk dipotong-potong. Proses selanjutnya, gaplek hitam lunak yang sudah dicuil-cuil itu kemudian ditanak, layaknya menanak nasi.Sekitar dua jam kemudian, diangkat dari tungku serta ditata dalam tampah agar cepat dingin. (dari suara merdeka.com dengan sedikit perubahan)
Kandungan gizi :Kandungan asam amino atau protein dalam gatot lebih besar daripada pada singkong, karenakeberadaan jamur yang memproduksi asam amino dari bahan pati singkong.Nilai gizi gaplek sendiri sebagai sumber karbohidrat lebih tinggi dibandingkan beras. Setiap 100 gr mengandung 35,3 gram. Namun, kandungan zat lain yang terdapat pada singkong (vitamin danmineral) relatif lebih kecil daripada beras, terutama setelah pengolahan. Meskipun begitu, singkong danolahannya memiliki kandungan serat yang lebih tinggi daripada beras. Oleh karena itu perlu diolahmenjadi makanan pelengkap dengan cara mengkombinasikan dengan pangan lainnya yang mempunyainilai gizi lebih tinggi maka akan sangat bermanfaat sebagai bahan pangan.
Cara membuat Gatot instan:
Bahan:
½ kg     gathot instant
2 ltr       air
½ btr     kelapa parut, kukus.
½ sdt    garam halus.


Cara membuatnya:
1. Rendam Gathot (gaplek) dalam air selama 30 menit, angkat, tiriskan.
2. Kukus dalam dandang yang sudah beruap selama 20 menit.
3. Sajikan bersama kelapa parut.
4. Jika suka, Gathtot bisa juga diberi gula jawa secara acak saat dikukus.




C.    PENUTUP
a.      Kesimpulan
Pangan instan adalah prodak makanan yang diolah sedemikian rupa sehingga konsumennya dapat secara instan menggunakannya. Ada banyak jenis makanan yang beredar didunia seperti mi instan, bubur instan, nasi goreng instan, santan instan, dan makanan tradiasional instan pun juga mudah didapatkan, seperti tiwul dan gatot instan. Makanan tradisional asli seperti tiwul dan gatot sudah mulai ditinggalkan, karena dianggap tiwul bukan makanan yang layak dikonsumsi, kedua, tiwul makanan orang miskin, ketiga, tiwul makanan yang dikonsumsi karena terpaksa akibat persediaan beras habis.
Pandangan seperti itu justru memperlemah ketahanan pangan kita, dan menghambat diversifikasi pangan untuk memperoleh gizi seimbang. Masyarakat akan malu kalau tidak makan nasi (beras), malu makan singkong, ubi jalar dan banyak lagi sumber karbohidrat negeri ini yang layak dikonsumsi. Pemenuhan kebutuhan karbohidrat masyarakat kita saat ini memang masih didominasi oleh beras. Indonesia merupakan salah satu negara pemakan beras tertinggi di dunia
b.      Daftar Pustaka
http://www.shvoong.com/medicine-and-health/1639515-dampak-makanan-siap-saji bagi/#ixzz1ZscJuAgC

0 komentar:

Posting Komentar