A. PENDAHULUAN
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih nutrisi pada makanan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya. Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A.
Di Indonesia, kekurangan vitamin A masih jadi masalah. Data menunjukkan sekitar sembilan juta balita dan satu juta perempuan Indonesia yang kekurangan vitamin ini.
Vitamin A sebetulnya banyak terdapat dalam makanan di sekitar kita. "Sumber vitamin A terdapat pada makanan seperti wortel, telur, susu, daging ayam, sayuran hijau, ubi, bayam, brokoli, mangga, tomat," cetus Profesor Soekirman, Ketua Koalisi Fortifikasi (KFI) di dalam sebuah diskusi klinis di Utan Kayu, Jakarta (19/9).
Namun demikian berbagai kasus kekurangan vitamin A masih terjadi. Soekirman mengatakan, masih ada 30 juta balita dan anak-anak yang tidak mampu mendapat vitamin A dari sumber-sumber itu, terutama sumber hewani.
Namun demikian berbagai kasus kekurangan vitamin A masih terjadi. Soekirman mengatakan, masih ada 30 juta balita dan anak-anak yang tidak mampu mendapat vitamin A dari sumber-sumber itu, terutama sumber hewani.
Umumnya anak-anak di Indonesia, hanya mengkonsumsi sekitar 40 persen vitamin A yang berasal dari asupan makanan, sementara kebutuhan ideal per hari seharusnya sekitar 60 persen. Karena itu fortifikasi vitamin A pada minyak goreng merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin tersebut, mengingat sekitar 70 persen masyarakat di Indonesia setiap harinya mengkonsumsi minyak goreng. Kekurangan vit A pada anak-anak masih merupakan masalah yang perlu diatasi, biasanya banyak terjadi pada anak di bawah usia lima tahun, yang akan mempengaruhi ketahanan tubuh.
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 25-30 persen kematian bayi dan balita disebabkan kekurangan vitamin A. Di Indonesia, sekitar 14,6 persen anak di atas usia 1 tahun mengalami kekurangan vitamin A dan berdampak pada penglihatan.
Dampak jelas dari kekurangan vitamin A adalah kebutaan. Ahli gizi KFI Virginia Kadarsan, menerangkan, "Vitamin A sangat penting. Selain mencegah kebutaan, juga menjaga kekuatan dan kekebalan tubuh, dan sebagai antioksidan. Fortifikasi merupakan upaya meningkatkan mutu gizi bahan makanan dengan menambah satu atau lebih gizi mikro."
Fortifikasi minyak goreng merupakan salah satu cara yang efektif untuk menyediakan vitamin A bagi anak-anak dan balita, juga masyarakat menengah ke bawah. Fortifikasi minyak goreng tidak berbahaya dan tidak akan menyebabkan keracunan karena bentuknya berupa liquid (cairan) serta sudah disesuaikan dengan standar yang berlaku. Dosis fortifikasi vit A pada minyak goreng sudah diperhitungkan secara internasional, yakni sekitar 15 (ppm), atau misalnya dalam 8 ton minyak hanya mengandung 0,5 Kg Vit A, berbeda dengan vitamin A yang berbentuk suplemen yang penggunaannya harus diatur serta tidak diperkenankan untuk dikonsumsi secara berlebihan. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng tidak berbahaya, juga tidak akan mengganggu pola makan yang dapat menyebabkan obesitas.
B. PERKEMBANGAN MUTAKHIR
1. Fortifikasi pangan
Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) kepangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan tingkat konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan untuk meningkatkan status gizi populasi. harus diperhatikan bahwa peran pokok dari fortifikasi pangan adalah pencegahan detisiensi: dengan demikian menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderitaan manusia dan kerugian sosio ekonomis. Namun demikian, fortitkasi pangan juga digunakan untuk menghapus dan mengendalikan defisiensi zat gizi dan gangguan yang diakibatkannya.
The Joint Food and Agricuktural Organization World Health Organization(FAOIWO) Expert Commitee on Nutrition (FAO/WHO, 1971) menganggap istilah fortification paling tepat menggambarkan proses dimana zat gizi makro dan zat gizi mikro ditambahkan kepada pangan yang dikonsumsi secara umum. Untuk mempertahankan dan untuk memperbaiki kualitas gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atau campuran pangan.
Istilah double fortijication dan multiple fortification digunakan apabila 2 atau lebih zat gizi, masing-masing ditambahkan kepada pangan atan campuran pangan. Pangan pembawa zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Vehicle’,sementara zat gizi yang ditambahkan disebut ‘Fortificant ‘. Secara umum fortifikasi pangan dapat diterapkan untuk tujuan-tujuan berikut:
1. Untuk memperbaiki kekurangan zat-zat dari pangan (untuk memperbaiki defisiensi akan zat gizi yang ditambahkan).
2. Untuk mengembalikan zat-zat yang awalnya terdapat dalam jumlah yang siquifikan dalam pangan akan tetapi mengalami kehilangan selama pengolahan.
3. Untuk meningkatkan kualitas gizi dari produk pangan olahan (pabrik) yang digunakan sebagai sumber pangan bergizi misal : susu formula bayi.
4. Untuk menjamin equivalensi gizi dari produk pangan olahan yang menggantikan pangan lain, misalnya margarin yang difortifikasi sebagai pengganti mentega .
a. Faktor Pemilihan Pangan untuk Fortifikasi
Pemilihan produk pangan yang cocok sebagai vehicle untuk zat yang akan difortifikasi sangat tergantung pada pola konsumsi masyarakat yang menjadi target. Secara umum faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan fortifikasi pada makanan diantaranya;
1. harus dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang menjadi sasaran,
2. dikonsumsi secara teratur,
3. stabil dalam penyimpanan,
4. harganya terjangkau oleh masyarakat,
5. tidak bereaksi dengan zat yang difortifikasikan,
6. berkontribusi pada asupan energi.
b. Program fortifikasi pangan
Program fortifikasi pangan merupakan salah satu program yang dirancang untuk mengatasi masalah kekurangan zat gizi mikro yang terjadi di masyarakat. Program yang sedang dijalankan pada saat ini di antaranya yodium pada garam, vitamin A pada minyak, lemak, margarin, gula, dan susu, serta zat besi pada tepung, mie instan, dan permen. Menurut Albiner Siagian (2003) langkah-langkah pengembangan program fortifikasi pangan, antara lain adalah:
1. Menentukan prevalensi defisiensi mikronutrien
2. Segmen populasi (menentukan segmen)
3. Tentukan asupan mikronutrien dari survey makanan
4. Dapatkan data konsumsi untuk pengan pembawa (vehicle) yang potensial
5. Tentukan availabilitas mikronutrien dari jenis pangan
6. Mencari dukungan pemerintah (pembuat kebijakan dan peraturan)
7. Mencari dukungan industri pangan
8. Mengukur (Asses) status pangan pembawa potensial dan cabang industri pengolahan(termasuk suplai bahan baku dan penjualan produk)
9. Memilih jenis dan jumlah fortifikasi dan campurannya
10. Kembangkan teknologi fortifikasi
11. Lakukan studi pada interaksi, potensi stabilitas, penyimpangan dan kualitas organoleptik dari produk fortifikasi.
12. Tentukan bioavailabilitas dari pangan hasil fortifikasi
13. Lakukan pengujian lapangan untuk menentukan efficacy dan kefektifan
14. Kembangkan standar-standar untuk pangan hasil fortifiksi
15. Defenisikan produk akhir dan keperluan-keperluan penyerapan dan pelabelan
16. Kembangkan peraturan-peraturan untuk mandatory compliance
17. Promosikan (kembangkan) untuk meningkatkan keterterimaan oleh konsumen.
Zat gizi juga dapat ditambahkan pada bahan-bahan makanan untuk memperbaiki nilainya; antara lain yodium dalam garam untuk mencegah penyakit gondok, thiamin dalam beras untuk mencegah beri-beri (Suhardjo et al, 1986).
Program fortifikasi pangan yang telah dikembangkan di antaranya adalah:
1. Yodium pada garam
2. Vitamin A pada minyak, lemak, gula, dan susu
3. Zat besi pada tepung, mie, dan permen
2. Fortifikasi Vitamin A
Masalah kekurangan vitamin A biasanya terjadi karena kandungan vitamin A dalam makanan yang dikonsumsi rendah, derajat absorbsi rendah, tingkat sosial ekonomi rendah, ketidaktahuan, serta akibat pnyakit seperti infeksi cacing, diare, dan campak. Fortifikasi pangan dengan vitamin A memegang peranan penting untuk mengatasi problem kekurangan vitamin A dengan menjembatani jurang antara asupan vitamin A dengan kebutuhannya. Fortifikasi dengan vitamin A adalah strategi jangka panjang untuk mempertahankan kecukupan vitamin A. Kebanyakan vitamin yang diproduksi secara komersial (secara kimia) identik dengan vitamin yang terdapat secara alami dalam bahan makanan. Vitamin yang larut dalam lemak (seperti vitamin A) biasanya tersedia dalam bentuk larutan minyak (oil solution), emulsi atau kering, keadaan yang stabil yang dapat disatukan/digabungkan dengan campuran multivitamin-mineral atau secara langsung ditambahkan ke pangan.
Bentuk komersial yang paling penting dari vitamin A adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retionol atau karoten (sebagai beta-karoten dan beta-apo-8’ karotenal) dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan ke pangan. Pangan pembawa seperti gula, lemak, dan minyak, garam, teh, sereal, dan monosodium glutamat (MSG) telah (dapat) difortifikasi oleh vitamin A.
Dalam kasus di negara kita, pemilihan minyak goreng sebagai vehicle untuk fortifikasi vitamin A memenuhi faktor pertimbangan no 1 dan 2 yaitu dikonsumsi oleh masyarakat secara konstan. Namun untuk faktor no 3 yaitu stabilitas vitamin A pada minyak goreng, hal ini sangat tergantung pada beberapa hal. Penelitian di Brazil dengan menggunakan vitamin A bentuk retinil palmitat menunjukkan bahwa kemasan sangat berpengaruh pada kestabilan vit A dalam minyak goreng. Senada dengan ini, hasil penelitian di Thailand juga menyarankan bahwa kemasan yang dapat melindungi minyak dari cahaya terutama sinar matahari (seperti kemasan berwarna opak atau sama sekali tidak tembus cahaya) akan lebih baik dalam menjaga kestabilan vitamin A. Kestabilan vitamin A juga perlu diperhatikan pada saat penggorengan. Dengan asumsi suhu penggorengan berada pada kisaran 180C, stabilitas vitamin A umumnya dianggap masih layak hingga 3-4 kali penggorengan. Selain itu, faktor retensi vitamin A pada makanan yang digoreng perlu dihitung, terutama untuk makanan gorengan yang sering dikonsumsi oleh masyarakat, seperti nasi goreng, daging, tempe dan tahu goreng atau produk gorengan lainnya.
Menarik diperhatikan untuk faktor no 4, yaitu harga yang terjangkau. Minyak goreng bermerk yang harganya relatif lebih mahal dibanding minyak curah lebih banyak dikonsumsi oleh golongan menengah ke atas, sementara golongan bawah lebih banyak memakai minyak curah. Data pada awal tahun 2010 menunjukkan bahwa 30% dari konsumen lebih memilih minyak curah, yang umumnya dari mereka adalah golongan miskin. Data pada tahun 2009 bahkan menyebutkan hingga 70% yang mengkonsumsi minyak curah. Konsekuensi dari data ini adalah bila fortifikasi hanya diberlakukan pada minyak goreng bermerk, maka 30% masyarakat miskin yang mengkonsumsi minyak curah tidak akan merasakan efek dari fortifikasi vitamin A. Inipun dengan asumsi 100% masyarakat Indonesia mengkonsumsi minyak goreng.
Bila tidak semua mengkonsumsi minyak, ada 70% masyarakat Indonesia mengkonsumsi minyak. Ini berarti ada sekitar 30% + (0.3*70%) =51% masyarakat Indonesia (terdiri dari 30% yang tidak mengkonsumsi minyak dan 21% yang mengkonsumsi minyak curah) yang tidak merasakan dampak fortifikasi vitamin A pada minyak goreng bermerk. Coba kita kaitkan juga dengan sebaran kelompok yang menderita KVA. Bila prevalensi KVA banyak terjadi pada golongan miskin, maka karena mereka kebanyakan mengkonsumsi minyak curah, kalau demikian halnya fortifikasi vitamin A tidak menyentuh populasi target, dengan kata lain kebijakan ini tidak akan efektif.
Bila pada minyak goreng curah juga diberlakukan fortifikasi, maka faktor stabilitas vit A menjadi titik krusial dalam keefektifan program ini, sebab selama ini minyak goreng curah dijual dengan tanpa kemasan padahal penggunaan kemasan yang mampu melindungi dari cahaya seperti dipaparkan di atas berperan penting pada kestabilan vitamin A. Dalam hal ini, mungkin minyak kemasan murah seperti pencanangan pemerintah pada program minyakkita dapat menjembatani persoalan ini.
Tinjauan fortifikasi juga perlu dilakukan hingga ke tingkat penyerapan vitamin A oleh tubuh (bioavailability) setelah vitamin tersebut diserap dari minyak goreng oleh aneka jenis makanan gorengan yang umum dikonsumsi masyarakat. Vitamin A yang terserap dalam makanan gorengan boleh jadi terperangkap oleh matrix makanan atau bereaksi dengan komponen pangan lain sehingga bioavailabilitnya menurun.
3. Fortifikasi vitamin A pada minyak goreng
Vitamin A berguna untuk pertumbuhan, penglihatan, reproduksi dan pemeliharaan sel epitel. Saat ini, masih ada 0,8 milyar orang di dunia defisiensi vitamin A. 4000 balita di dunia meninggal karena kekurangan vitamin A. Di Indonesia, 1 dari 2 anak balita kemungkinan besar mengalami Kurang Vitamin A (KVA). Lebih dari 100 juta orang Indonesia mengalami defisiensi zat gizi dan 10 juta balita mengalami KVA. KVA adalah ancaman daya saing bangsa (Martianto, 2010). Selain itu, berdasarkan data organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 25 - 30 % kematian bayi dan balita disebabkan kekurangan vitamin A. Sedangkan di Indonesia sekitar 14,6% anak di atas usia 1 tahun mengalami kekurangan vitamin A dan berdampak pada penglihatan.
Belum lama ini, Pemerintah akan mewajibkan produsen minyak goreng kelapa sawit untuk menambahkan vitamin A ke dalam produknya yang diedarkan di Indonesia mulai Januari 2011. Kebijakan itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi (nutrien) ke dalam pangan untuk mengatasi defisiensi zat gizi mikro, salah satunya vitamin A. Proses fortifikasi secara konvensional dapat dilakukan dengan menambahkan zat gizi mikro ke dalam formulasi makanan. Kebijakan ini diasumsikan akan mengatasi masalah KVA karena 70% masyarakat Indonesia mengonsumsi minyak goreng.
Fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng merupakan salah satu cara untuk menyediakan vitamin A bagi anak-anak dan balita, termasuk masyarakat karena dinilai tidak berbahaya, tidak akan menyebabkan keracunan, tidak akan mengganggu pola makan masyarakat serta tidak akan banyak memengaruhi harga. Namun, alangkah baiknya apabila kita tinjau kembali kebijakan ini. Apakah cara ini benar-benar efektif dalam mengatasi masalah KVA di Indonesia?
Menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), kebutuhan vitamin A (µg Retinol) anak/hari 375-500 µg, untuk orang dewasa membutuhkan 600 µg, sedangkan ibu hamil dan menyusui 300-350 µg. Bahan baku minyak goreng adalah CPO (Crude Palm Oil) atau minyak sawit merah. Jumlah beta karoten (pro-vitamin A) di CPO mencapai 500-1000 ppm karotenoid atau 1 ml CPO mengandung karotenoid vitamin A sebesar 600 µg retinol. Ini artinya 1 ml CPO dapat memenuhi kebutuhan vitamin A satu orang dewasa selama satu hari. Bayangkan jika 1 L CPO yang sama dengan 1000 ml artinya dapat memenuhi kebutuhan vitamin A 1000 orang per hari. Namun pada kenyataannya beta karoten dalam 1 L CPO dihilangkan ketika proses pemurnian (purifying), pemucatan (bleaching), dan penghilangan dari busukan (deodorizing). Warnanya kuning keemasan seperti yang kita kenal selama ini sehingga hampir semua karotenoidnya hilang.
Dengan adanya kebijakan fortifikasi vitamin A, produsen harus menambahkan vitamin A sintetik ke dalam minyak goreng setelah penghilangan provitamin A dalam dalam CPO. Bukankah hal ini justru termasuk dalam pemborosan? Kebijakan ini juga sangat disayangkan oleh Prof. Dr. Ir. Fransiska Zakaria Rungkat, MS., staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB yang peduli terhadap masalah kekurangan vitamin A masyarakat Indonesia.
Lalu, berapa produksi CPO yang dihasilkan Indonesia? Sungguh luar biasa, Indonesia merupakan produsen terbesar penyumbang CPO dunia, yaitu diprediksi mencapai 47,2 persen atau 22,2 juta ton per tahun (TempoInteraktif.com). Namun sangat disayangkan sekitar 60% dari produk CPO Indonesia diekspor ke luar negeri, sementara sisanya diserap untuk konsumsi di dalam negeri. Untuk penggunaan lokal, industri minyak goreng merupakan penyerap CPO dominan, mencapai 29,6% dari total produksi, sedang sisanya dikonsumsi oleh industri oleokimia, sabun dan margarine atau shortening.
Pada tahun 2011 ini pemerintah mewajibkan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng, khususnya pada produk bermerk. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh kondisi masyarakat Indonesia yang masih banyak mengalami kurang vitamin A (KVA), dimana sekitar 9 juta balita dan 1 juta wanita mengalami KVA. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena KVA dapat berpengaruh selain gangguan pada penglihatan juga pada penurunan daya tahan tubuh dari serangan penyakit, akibatnya angka mortalitas meningkat dan kualitas anak bangsa menurun.
HASIL-HASIL PENELITIAN
Perusahaan kimia terkemuka di dunia (BASF) bekerjasama dengan Koalisi Fortifikasi Indonesia (KFI) memperkenalkan penambahan zat gizi mikro(fortifikasi) vitamin A pada minyak goreng guna mengatasi kekurangan vitamin A, terutama pada anak dan balita.
Fortifikasi minyak goreng merupakan salah satu cara yang efektif untuk menyediakan vitamin A bagi anak-anak dan balita, juga masyarakat menengah ke bawah. Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan beberapa mitra telah melakukan proyek percontohan fortifikasi vitamin A ke dalam minyak goreng di Makassar, dan hasilnya terbukti dapat meningkatkan kebutuhan vitamin A pada anak-anak usia sekolah.
Fortifikasi minyak goreng tidak berbahaya dan tidak akan menyebabkan keracunan karena bentuknya berupa liquid (cairan) serta sudah disesuaikan dengan standar yang berlaku. Dosis fortifikasi vit A pada minyak goreng sudah diperhitungkan secara internasional, yakni sekitar 15 (ppm), atau misalnya dalam 8 ton minyak hanya mengandung 0,5 Kg Vit A, berbeda dengan vitamin A yang berbentuk suplemen yang penggunaannya harus diatur serta tidak diperkenankan untuk dikonsumsi secara berlebihan.
Umumnya anak-anak di Indonesia, hanya mengkonsumsi sekitar 40 persen vitamin A yang berasal dari asupan makanan, sementara kebutuhan ideal per hari seharusnya sekitar 60 persen. Karena itu fortifikasi vitamin A pada minyak goreng merupakan suatu cara untuk memenuhi kebutuhan asupan vitamin tersebut, mengingat sekitar 70 persen masyarakat di Indonesia setiap harinya mengkonsumsi minyak goreng. Kekurangan vit A pada anak-anak masih merupakan masalah yang perlu diatasi, biasanya banyak terjadi pada anak di bawah usia lima tahun, yang akan mempengaruhi ketahanan tubuh.
Fortifikasi dapat menjadi salah satu cara untuk menanggulangi masalah ini. Sejak beberapa tahun lalu Depkes bersama KFI sudah melakukan penelitian fortifikasi vitamin A pada minyak goreng curah, yang terbukti dapat meningkatkan asupan vitamin A pada anak-anak dan juga balita.
Fortifikasi pada minyak goreng tidak berbahaya, juga tidak akan mengganggu pola makan yang dapat menyebabkan obesitas. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 25-30 persen kematian bayi dan balita disebabkan kekurangan vitamin A. Di Indonesia, sekitar 14,6 persen anak di atas usia 1 tahun mengalami kekurangan vitamin A dan berdampak pada penglihatan.
C. PENUTUP
1. KESIMPULAN
Fortifikasi minyak goreng merupakan salah satu cara yang efektif untuk menyediakan vitamin A bagi anak-anak dan balita, juga masyarakat menengah ke bawah.Fortifikasi minyak goreng tidak berbahaya dan tidak akan menyebabkan keracunan karena bentuknya berupa liquid (cairan) serta sudah disesuaikan dengan standar yang berlaku. Dosis fortifikasi vit A pada minyak goreng sudah diperhitungkan secara internasional, yakni sekitar 15 (ppm), atau misalnya dalam 8 ton minyak hanya mengandung 0,5 Kg Vit A. Fortifikasi pada minyak goreng tidak berbahaya, juga tidak akan mengganggu pola makan yang dapat menyebabkan obesitas.
2. HARAPAN
Dengan adanya fortifikasi vitamin A pada minyak goreng diharapkan dapat mencukupi kebutuhan zat gizi mikro khususnya vitamin A bagi anak-anak dan balita sehingga memperkecil resiko kekurangan vitamin A yang dapat menghambat pertumbuhan anak dan timbulnya penyakit mata .
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Fortifikasi pada Minyak Goreng Bantu Atasi Kekurangan Vitamin A. http://www.depkominfo.go.id/2009/fortifikasi-pada-minyak-goreng-bantu-atasi-kekurangan-vitamin-a/
0 komentar:
Posting Komentar